Gempa Cianjur Berulang Tiap 20 Tahun, Literasi Rendah Picu Banyak Korban

“Gempa yang berulang setiap 20 tahun sekali,” kata seismolog dari gempa Cianjur, Senin (21/11), namun literasi seismik yang rendah dan mitigasi bencana yang buruk diduga telah menyebabkan ratusan kematian dan kerusakan besar. Institut Teknologi Bandung (ITB) Erwan Milano.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan gempa serupa terjadi di Kabupaten Cianjur pada tahun 1982 dan 2000.

Sumber gempa diduga berada di kawasan sesar Semandiri yang berpotensi memicu gempa bermagnitudo 6,7.

BMKG juga telah menetapkan Cianjur sebagai “kawasan rawan gempa permanen” dengan riwayat gempa dahsyat yang tercatat setidaknya sejak tahun 1844.

Lantas mengapa guncangan seismik yang disebut Erwan “skala sedang” menyebabkan ratusan korban jiwa dan kerusakan yang signifikan?

Ada 3 faktor penyebab terjadinya gempa

Menurut Irwan, ada tiga faktor yang mempengaruhi mengapa gempa bermagnitudo sedang di Cianjur berdampak sangat mematikan.

Pertama, gempa yang terjadi sangat dangkal di kedalaman 10 km.

Selain itu juga terjadi amplifikasi yaitu peningkatan kekuatan dari guncangan seismik pada daerah yang lapisan tanahnya gembur.

Cianjur merupakan daerah dengan karakter perbukitan terjal hingga terjal karena terletak di sisi tenggara Gunung Gede.

Hal ini juga menyebabkan longsor di beberapa titik.

BNPB melaporkan hingga Selasa malam ada 12 kecamatan yang terkena dampak gempa, menyebabkan lebih dari 58.000 orang mengungsi.

Faktor kedua adalah kepadatan penduduk.

Erwan mengatakan, gempa yang sama yang terjadi 20 tahun lalu tidak akan berdampak sebesar sekarang.

Semakin besar populasi, semakin banyak korban yang terkena.

Faktor ketiga adalah bangunan di daerah bencana memiliki struktur yang tidak tahan terhadap gempa.

“Banyak yang rusak karena strukturnya tidak siap,” kata Irwan kepada BBC News Indonesia Niki Olea Widadio.

Menurut Irwan, hal itu terjadi karena pemerintah daerah dan masyarakat belum memahami bahaya gempa yang mengintai di wilayahnya.

“Kalaupun paham, tidak jadi prioritas,” kata Erwan.

Ia melanjutkan, “Saya melihat ada tiga kemungkinan yang menyebabkan dampak yang begitu signifikan, apakah itu penyumbang terbanyak, atau mungkin gabungan dari ketiganya.”

Apa yang orang ketahui tentang risiko bencana?

Sejumlah korban gempa yang kehilangan tempat tinggal di Desa Siberium, Kecamatan Koginang, Cianjur, mengaku “tidak mengetahui” wilayah tempat tinggal mereka rawan bencana.

Rodia, 55, mengatakan gempa kali ini merupakan “gempa terbesar” yang pernah dirasakannya selama berada di Desa Siberium.

“Dulu gempa kebanyakan biasa, kecil dan tidak kentara. Tapi ini yang paling.. Masya Allah.. rumahnya juga roboh sehingga tinggal di tenda seadanya ini, baru sekarang merasakannya,” Rudia kepada wartawan BBC News Indonesia Muhammad Erham.

“Enggak [tahu], dari awal juga enggak. Saya selalu suka nonton di TV, ada gempa, ada banjir, kami alhamdulillah, kami bersyukur. Ternyata bencana sekarang,” kata Rudia.

Seorang warga Desa Siberium, Yani Mulyani, 55 tahun, mengaku tidak ada edukasi kepada warga tentang mitigasi dan evakuasi saat terjadi gempa.

“Tidak ada (edukasi). Memang gempa terjadi dua malam lalu, dan kami tidak tahu nama bencananya. Tidak ada indikasi mengetahui ukurannya,” kata Yanni.

Dari mana asal gempa Cianjur?

Selama ini BMKG menduga sumber gempa berasal dari sebagian sistem sesar Semandiri.

Sesar Cimandiri merupakan sesar aktif yang memanjang sekitar 100 km dari Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Ciangjur, hingga Padalarang.

Ada banyak gempa bumi tercatat yang terjadi di patahan ini.

“Ini masih dugaan, kami akan terus pantau pengukuran di lapangan atau mungkin juga dari galat Badalarang. Jadi antara keduanya,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam jumpa pers di Cianjur, Selasa (22/2). /11).

Sejumlah pakar, termasuk Irwan, juga meyakini gempa Cianjur “berasal dari kawasan sesar Semandiri”.

Namun, pusat gempa kemudian ditemukan pada jarak sekitar 9 km ke arah barat dari pesawat yang sebelumnya teridentifikasi sebagai patahan Semandiri.

Penemuan ini memicu perdebatan di antara para ahli, apakah sumbernya memang dari Cimandiri atau ada bug baru lainnya yang belum teridentifikasi.

Erwan menduga ada beberapa kemungkinan, apakah itu bug Simandiri yang sudah teridentifikasi selama ini atau dua kelemahan baru yang berjalan paralel satu sama lain.

Bagaimana sejarah gempa di Cianjur?

Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, wilayah Cianjur merupakan zona gempa yang cukup aktif. Begitu juga dengan daerah Sukabumi, Limbang, Purwakarta dan Bandung.

Terdapat beberapa sesar di kawasan tersebut, yakni sesar Cimandiri, Padalarang, Lembang, dan Cirata, serta masih banyak sesar minor lainnya.

Selain itu, sifat gempa yang mengancam wilayah ini relatif dangkal, sehingga menurut Dariono, “tidak membutuhkan kekuatan yang besar.”

“Bahkan kekuatan 4, 5, 6 pun bisa merusak,” kata Dariono.

Gempa bumi pertama yang dicatat BMKG terjadi di wilayah ini pada tahun 1844.

Sebelumnya, gempa bumi di wilayah Cianjur juga cenderung sering terjadi, namun tidak terekam.

Gempa dahsyat lainnya terjadi di Cianjur dan sekitarnya pada tahun 1910.

Kemudian pada 21 Januari 1912 rumah di perbatasan Cianjur dan Sukabumi juga rusak berat, kata Daryono.

Gempa tercatat berikutnya terjadi pada 2 November 1968, di mana gempa berkekuatan 5,4 skala Richter menyebabkan “banyak rumah roboh”.

Kemudian pada tanggal 10 Februari 1982, terjadi gempa berkekuatan 5,5 SR yang menimbulkan kerusakan dan korban luka.

Gempa dahsyat terakhir yang tercatat sebelum yang terakhir terjadi pada 12 Juli 2000 dan menyebabkan kerusakan parah pada lebih dari 1.900 rumah.

Sebelum gempa bermagnitudo 5,6 pada Senin (21/11), BMKG juga mencatat tiga kali gempa bermagnitudo 2,6 hingga 4,1 di Danau Cerata.

“Saat itu masyarakat merasa karena (gempa) terjadi dini hari, 4.1 sangat kuat,” kata Dariono.

Dengan sejarah gempa yang begitu panjang, Dariono mengatakan “penting untuk terus mengidentifikasi sumber gempa dan jalur patahan aktif.”

Pengenceran apa yang harus dilakukan?

Menurut Irwan, salah satu poin krusial yang harus dilakukan pascagempa adalah membangun kembali rumah masyarakat yang tahan gempa atau di daerah yang tidak terlalu terkena dampak gempa.

Untuk itu diperlukan kajian yang mendalam.

“Penting untuk dipastikan letak bangunannya? Apakah termasuk daerah patahan, atau yang rusak (gedung) jauh dari patahan, padahal dibangun menurut kaidah yang buruk.”

“Kalau dibangun di tempat yang sama, pastikan di tempat yang sama jangan di daerah yang sesarnya bisa jadi sumber gempa lagi, dan jangan asal dibangun, lalu setelah beberapa dekade akan rusak lagi oleh gempa bumi dengan kekuatan yang sama.”

Untuk bangunan yang berada di jalur patahan gempa, Erwan mengatakan penting untuk memindahkan bangunan tersebut. Karena di wilayah ini, struktur bangunan yang bagus pun tidak cukup untuk menahan guncangan gempa.

Ia mengatakan, sistem zonasi pascabencana sudah diterapkan dengan baik pascagempa di Palu pada 2018 lalu.

Namun, kata Erwan, masih banyak masyarakat yang tinggal di zona sesar aktif dan tidak menyadarinya.

Meskipun zona keretakan aktif sangat perlu diperhitungkan selama pengembangan.

“Perlu diterapkan kawasan yang tidak boleh dibangun, kawasan yang tidak terlalu lebar koridornya, misalnya dimanfaatkan sebagai kawasan hijau, sangat memungkinkan dilakukan di kawasan sesar Semandiri karena belum banyak kawasan yang dibangun relatif dekat dengan patahan tersebut,” jelas Erwan.

Namun, dalam konteks yang lebih luas, sistem zonasi rawan bencana tidak mudah diterapkan karena berbenturan dengan kepentingan lain.

Dalam banyak situasi bencana di Indonesia, keputusan baru diambil setelah bencana terjadi.

“Ini butuh komitmen, dan tidak mudah untuk didefinisikan, yah, itu tidak bisa dibangun. Karena kepentingan seringkali lebih kompleks dari sekedar kepentingan pengurangan risiko bencana,” ujar Erwan.

Mengenai lokasi yang sering terjadi gempa di Cianjur, Erwan mengatakan telah dibuat peta daerah rawan bencana yang menjadi acuan mitigasi risiko gempa berdasarkan konteks sumber gempa dan guncangannya.

“Namun upaya-upaya yang lebih menyentuh aspek kemasyarakatan, kami tidak melihat ada upaya sistematis ke arah itu. Menurut saya, kita harus lebih serius mengarusutamakan pengurangan risiko gempa sebagai bagian dari perencanaan pembangunan.”

referensi : https://www.suara.com/news/2022/11/23/045846/gempa-cianjur-berulang-tiap-20-tahun-literasi-rendah-picu-banyak-korban

editor : andre